Selalu Ada Masalah Jika Jaksa Jadi Penyidik Kasus Korupsi…?
Jakarta – www.bakinonline.com
Diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dua tersangka baru terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022. Salah satunya adalah Direktur Utama PT Refined Bangka.
Dalam hal itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir menyampaikan, sering timbul permasalahan dalam penegakan hukum jika jaksa menjadi penyidik dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Pertanyaan akademiknya adalah mengapa jaksa serius mempertahankan wewenang menyidik dalam perkara Tipikor dan tidak tertarik dalam perkara lain, misalnya pembunuhan, perampokan atau pembegalan dan tidak tertarik menyidik perkara terorisme,” kata Muzakir kepada wartawan, Minggu (26/5/2024).
Menurut Mudzakir, tindak pidana korupsi memang perkara pidana yang seksi dan menjadi rebutan para penegak hukum, terutama bagi Kejaksaan.
“Karena wewenang menyidik tunggal, yaitu Tipikor, maka setiap perkara yang dilaporkan kepada KPK dan jaksa konklusinya selalu Tipikor karena wewenangnya tunggal. Hanya Tipikor (Tipikorisasi),” ujarnya.
Hingga saat ini, kata Muzakir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan sama-sama memiliki wewenang menangani perkara Tipikor. Namun begitu, seringkali ada kasus yang bukan tindak pidana korupsi malah dibuat menjadi urusan rasuah.
“Kredit macet (dibuat) Tipikor, padahal sudah ada jaminan harta benda di bank. Di mana letak kerugian keuangan negara dan Tipikornya? Kan dasar pinjamannya perdata yaitu perjanjian kredit dengan jaminan,” ucapnya.
Alhasil, ketika sampai pada tahap persidangan hakim lantas menolak dan membebaskan para terdakwa dikarenakan menilai bahwa perkara tersebut hanyalah sebatas kasus perdata. Seperti misalnya kasus Surya Darmadi, di mana kerugian negara dalam dugaan korupsi dan pencucian uang PT Duta Palma Group lebih dari Rp104,1 triliun, yang ditangani Jampidsus Kejagung Febrie Andriansyah malah disunat Mahkamah Agung (MA) dengan hukuman pidana uang penggantinya dari Rp42 triliun menjadi Rp2 triliun saja.
Untuk itu, Mudzakir menyatakan lembaga pengawas seperti Komisi Kejaksaan RI dan Dewan Pengawas KPK RI kurang optimal dalam melalukan tugas dan fungsinya.
“Menurut analisis saya begitu (pengawasan kurang optimal), sebagai pengawal dan pengawas lembaga profesional di bidang penegakan hukum yakni Dewas pada KPK dan Komisi Kejaksaan pada Kejaksaan RI,” tandasnya.
(tans/jurn.bkn/b)