KOPERASI Merah Putih dan BUMD dapat Meningkatkan Pendapatan selain PBB-P2
Sudarjono- Pengamat Ekonomi
Nasional – www.bakinonline.com
Pemerintah sebagai penyelenggara Negara yang dipilih oleh rakyat haruslah bijak dalam menerapkan kebijakan yang berkeadilan untuk rakyatnya.
Pajak dipungut oleh negara melalui penyelenggara Negara (Pemerintah) baik di pusat hingga di daerah untuk dikelola dan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, seperti untuk biaya pembangunan dan untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat, untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Termasuk Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
Pengertian bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi.
PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan dikelola oleh masyarakat (pribadi atau badan usaha), kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan dikelola oleh Negara (Pemerintah).
Diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alias UU HKPD mengatur dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun, besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah (Pemda) masing-masing..
Dalam menaikan tarif PBB-P2 Pemerintah Daerah haruslah menetapkan kebijakan secara bertahap dan terukur. Janganlah memaksakan kenaikan tarif PBB-P2 secara drastis yang berpotensi menciptakan tax shock yang membebani daya beli masyatakat, terutama bagi kelompok rentan dan kelas menengah – bawah, resistensi publik bisa muncul dalam bentuk menunggak pembayaran, protes sosial, atau bahkan gugatan hukum soal penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
PBB-P2 menjadi instrumen yang relatif cepat dan mudah dioptimalkan karena berbasis pada penyesuaian NJOP yang kewenangannya berada di tangan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat..
Hal itu diperparah oleh perlambatan transfer dari pusat, berkurangnya dana bagi hasil sumber daya alam, dan stagnasi retribusi yang membuat target pendapatan daerah dalam APBD sulit dicapai. Yang berakibat Pemerintah Daerah memilih jalur instan dengan menaikkan tarif PBB-P2 ketimbang membangun sumber penerimaan pajak baru yang memakan waktu lama.
Pemerintah Daerah dapat memiliki opsi lain yang lebih berkelanjutan untuk menambah pendapatan, selain menaikan tarif PBB-P2.
Sudarjono, pengamat ekonomi rakyat. Selain sumber dari pajak, Pemda dapat mengoptimalkan “BUMD dan Program KOPERASI Merah Putih” yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto, dapat meningkatkan selain pajak, yang dapat dikelola secara professional dengan pengawasan ketat, agar dapat bersaing dengan swasta seperti Indomart, Alvamart dan super market lainnya, yang dapat berperan sebagai penyeimbang. Selain itu, dapat juga memaksimalkan sektor potensial lain, seperti pengelolaan air bersih, energi, pariwisata lokal, serta mengelola aset daerah yang selama ini menganggur, dengan melalui skema kerja sama pemanfaatan atau KPBU. Dan masih banyak potensi lainnya…
Strategi ini memerlukan investasi waktu, kapasitas dan tata kelola yang kuat, tetapi akan menuai hasil yang lebih stabil. Dan tidak menciptakan beban bagi masyarakat dibandingkan dengan menaikan tariff PBB-P2.
Melonjaknya PBB-P2 di beberqapa daerah ada kaitannya dengan tekanan fiskal yang kian menguat. Hali ini disebabkan pemangkasan transfer dari pusat ke daerah, pengetatan belanja pusat, serta kewajiban membiayai layanan publik, sehingga memaksa Pemda mencari sumber penerimaan yang instan.
Menaikan tariff PBB-P2 merupakan target empuk dan mudah karena basis data objek pajak telah tersedia, mekanisme pungutan sudah mapan, dan proyeksi penerimaannya relatif pasti. Memaksakan kenaikan tariff PBB-P2 dalam skala besar berisiko memicu gelombang penolakan dan menurunkan kepatuhan wajib pajak.
Rakyat yang merasa dibebani tanpa imbal balik layanan memadai dapat kehilangan kepercayaan masyarakat pada Pemda. Efek jangka pendeknya dapat menuai aksi protes dan dapat penurunan penerimaan pajak, karena banyak masyarakat yang mangkir bayar (menunggak).
Disisi lain. Saat ini banyak terjadi kenaikan tariff PBB-P2 di sejumlah daerah, utamanya didorong oleh kebutuhan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tengah tuntutan kemandirian fiskal pasca-desentralisasi.
Baru-baru ini diketahui sejumlah daerah menaikkan tariff Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) Terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang berencana menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen. Rencana tersebut dibatalkan setelah Presiden Prabowo Subianto menegur Bupati Pati Sudewo. Namun, gelombang aksi demo massa tetap berlangsung hingga meminta Bupati Pati Sudewo untuk mundur dari jabatannya.
Selain itu di Cirebon viral di media social, Pemerintah daerah menaikan tariff PBB-P2 hingga mencapai 1000 persen. Dan terjadi di Jombang, Jawa Timur, beberapa warga mengaku terkejut ketika PBB tanah miliknya pada 2024 tiba-tiba naik 1.202 persen atau 12 kali lipat dibandingkan yang sudah dia bayarkan pada 2023. Dan kemungkinan hal ini terjadi di beberapa Pemda yang telah menaikan PBB-P2 secara diam-diam dan tidak diketahui oleh masyarakat.. ?
Bupati Jombang Warsubi pun mengungkap, “Kenaikan PBB-P2 di daerahnya merupakan bagian dari penyesuaian peraturan daerah yang wajib dilakukan atas rekomendasi pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” Ungkapnya.
Lebih lanjut, “Perubahan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak diambil secara sepihak oleh Pemkabupaten Jombang, melainkan berdasarkan rekomendasi pemerintah pusat,” paparnya.
(ari/jurn.bkn.d)