Data Sri Mulyani Nggak Beda, Hanya Menafsirkannya Yang …
Jakarta- bakinonline.com
Mahfud Md dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR menegaskan bila data yang dipaparkannya dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi III DPR sama dengan data milik Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Hanya saja menurut Mahfud, cara menafsirkan yang berbeda.
“Saudara, data ini clear valid tinggal pertemuan saja dengan Bu Sri Mulyani, nggak ada data yang beda,” ungkap Mahfud dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
“Cuma bu Sri Mulyani itu menerangkannya begini, kalau PPATK itu kan rombongan, misalnya Rafael itu kan ada rombongannya, ketika diperiksa Ibu Sri Mulyani 1 yang diambil, sama dengan ini tadi, jadi ini rombongan, namanya pencucian uang kalau nggak banyak ya bukan pencucian uang namanya, kalau 1 korupsi, tapi pencucian uang lebih banyak di belakangnya itu lho,” jelas Mahfud.
Mahfud juga mempersilakan bila memang DPR ingin menggelar pansus. Dia juga menyebut bila data Sri Mulyani sama hanya cara penafsiran yang berbeda.
“Saudara, saudara buka nanti, mau pansus buka nanti ada nama-nama orang 491 orang apa kasusnya, itu kan ada LHA-nya, ada di situ maka bagi saya gampang kok masalah ini, undang Sri Mulyani, cocokkan hanya beda menafsirkan,” ujar Mahfud.
“Nggak ada yang berbeda, menafsirkannya yang beda, nanti lihat saja,” tambahnya.
Diketahui sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada Senin, 27 Maret 2023. Saat itu Sri Mulyani membedah laporan terkait Rp 349 triliun menjadi 3 bagian.
Angka Rp 349 triliun itu muncul dari 300 surat PPATK. Sri Mulyani membagi 300 surat itu menjadi 3 bagian yaitu 100 surat, 135 surat, dan 65 surat. Berikut detailnya:
* 100 surat dengan nilai transaksi Rp 74 triliun dari periode 2009-2023 yang ditujukan PPATK ke aparat penegak hukum lain.
* 65 surat dengan nilai transaksi Rp 253 triliun, yang isinya adalah transaksi debit/kredit operasional perusahaan-perusahaan dan korporasi yang disebut Sri Mulyani tidak berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Di antara 65 surat itu ada 1 surat yang disebut Sri Mulyani yang paling menonjol karena memiliki angka yang paling tinggi yaitu Rp 189 triliun.
* 135 surat dengan nilai Rp 22 triliun, yang isinya transaksi-transaksi yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu.
“Sehingga yang benar-benar berhubungan dengan kami, ada 135 surat nilainya Rp 22 triliun, bahkan Rp 22 triliun ini, Rp 18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang tidak berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Jadi yang benar-benar nanti yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu 3,3 triliun, ini 2009-2023, 15 tahun seluruh transaksi debit kredit termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset, jual beli rumah itu Rp 3,3 triliun dari 2009-2023,” ungkap Sri Mulyani.
Lebih lanjut Sri Mulyani, Rp 3,3 triliun itu berhubungan dengan pegawai Kemenkeu dalam kurun 2009-2023 yang meliputi transaksi debit kredit pegawai termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset hingga jual beli rumah. Dia juga menegaskan bila angka itu tidak terkait pidana apapun.
“Jadi ya tidak ada hubungannya dalam rangka untuk pidana atau korupsi atau apa, tapi kalau kita untuk ngecek tadi untuk profiling dari resiko pegawai kita. Jadi banyak juga beberapa yang sifatnya adalah dalam rangka kita melakukan tes integritas dari staf kita,” Sri Mulyani menambahkan.
Masih dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR. Mahfud mengatakan bila data yang disampaikan Sri Mulyani itu keliru. Namun menurut Mahfud hal itu bukanlah kesalahan dari Sri Mulyani.
“Data agregat, transaksi keuangan. Keuangan yang Rp 349 T itu dibagi ke dalam 3 kelompok: 1. Transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu, kemarin ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp 3 T, yang benar Rp 35 triliun, nanti ada datanya,” ungkap Mahfud.
Baru setelahnya, Ivan selaku Kepala PPATK di tempat yang sama memberikan penjelasan. Apa penjelasannya ?.
Ivan mengatakan bahwa PPATK mencatatkan angka Rp 35 triliun yang didapat dari transaksi oknum-oknum termasuk perusahaan-perusahaan yang diduga adalah perusahaan cangkang dari oknum itu. Ivan mengatakan hal itu tidak bisa dipisahkan karena diduga kuat terkait modus pencucian uang.
“Jadi kenapa tadi di klaster pertama, kami menyampaikan tadi kan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan oknum, tapi di dalam daftar list-nya secara lengkap kami juga dalam list-nya, di dalam suratnya itu selain oknum kami sampaikan juga banyak perusahaan. Jadi misalnya dalam 1 surat itu ada oknumnya 1 tapi perusahaannya ada 5, ada 7 dan 8 segala macam,” ucap Ivan.
“Nah ini yang kemudian pada saat rapat kemarin oleh Kementerian Keuangan dikeluarkan sehingga angka Rp 35 triliun yang ditemukan oleh PPATK setelah dikeluarkan entitas perusahaan menjadi Rp 22 triliun. Lalu dikeluarkan lagi entitas perusahaan yang tidak ada Kementerian Keuangannya, lalu dikeluarkan lagi dari entitas perusahaan yang ada Kementerian Keuangannya menjadi Rp 3,3 triliun. Lalu kemudian ramai bahwa PPATK salah dan segala macam,” tambahnya.
Ivan menduga perusahaan cangkang ini modus yang lazim dalam TPPU. Biasanya oknum akan menggunakan tangan orang lain untuk menutupi kejahatannya.
“Alasan kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oknum sehingga ini nggak bisa dikeluarkan. Misalnya dia menggunakan nama perusahaan dengan nama pemiliknya adalah di aktanya adalah istrinya, anaknya, sopirnya, tukang kebunnya dan segala macam. Kalau ini dikeluarkan jadilah Rp 3,3 triliun,” ungkap Ivan.
“Tapi kami tidak lakukan itu karena modus pelaku tindak pencucian uang itu adalah selalu… Ini kan kita bicara tindak pidana pencucian uang kan bicara proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri, sehingga kalau kami keluarkan data itu nah kami justru membohongi penyidiknya,” Pungkas Ivan.
(jon/red.bkn/d)