Mang Komment, Banjir Bandang di Sumatra, Siapa Bertanggung Jawab..?
Nasional – www.bakinonlene.com
Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat merupakan peristiwa alam dan masuk kategori bencana alam, sesuai dengan Pasal 1 Undang Undang Penanggulangan Bencana.
Akibat banjir bandang dan tanah longsor tersebut berdampak pada ekonomi, sosial, dan kemanusiaan. dan ini bukan sekadar peristiwa alam semata.
Hingga saat ini per 8 Desember 2025 sudah mencapai seribu lebih korban meninggal dan hilang, serta jutaan warga yang terpaksa harus mengungsi karena rumah tempat tinggalnya musnah terseret banjir.
Mang Komment pengamat social budaya, dalam satu dekade terakhir, diketahui pemerintah telah menerbitkan izin usaha secara agresif untuk perkebunan sawit dan pertambangan yang mendorong praktik deforestasi dan alih fungsi lahan hutan di Sumatra.
Sejak tahun 2019-2025 telah terjadi kehilangan hutan hingga 94.286 hektare (ha) di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Hingga 2024. Jutaan ha hutan menjadi hamparan tanaman sawit seluas kurang lebih 565.135 ha di Aceh, 2.018.727 ha di Sumatra Utara, dan 555.076 ha di Sumatra Barat.
Tentu saja sebelumnya diawali dengan penebangan pohon atau penggundulan hutan terlebih dahulu, Yang mengakibatkan tutupan hutan hilang,sehingga kapasitas tanah untuk menyerap air pun berkurang dan tebing dan lereng menjadi rapuh.
Maka, saat turun hujan yang sangat deras fungsi hujan yang telah rusak tak sanggup lagi menyerap air dan berakibat longsor dan banjir bandang terjadi.
Terkait hal ini, masyarakat terdampak punya dasar yang kuat untuk menggugat pemerintah ke pengadilan atas dasar perlindungan lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia (HAM). Yang diakibatkan pemberian izin kepada beberapa perusahaan tidak akuntabel dan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah.
Ketika penerbitan izin usaha yang memicu deforestasi dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan tidak melibatkan konsultasi public. Maka, pemerintah tidak hanya melanggar proses administratif, tetapi juga hak asasi warga.
Seharusnya, dalam penerbitan izin usaha perkebunan, tambang, maupun aktivitas yang mengubah kawasan hutan wajib disertai uji tuntas lingkungan dan HAM yang ketat, dan perlunya pengawasan berkelanjutan terhadap kepatuhan perusahaan pada standar lingkungan hidup.
Mengacu pada UU Lingkungan Hidup Pasal 15 hingga 19, memberikan mandat serupa. Ada kewajiban bagi pemerintah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang melibatkan masyarakat ketika izin usaha akan diterbitkan.
Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Sumatra yang ekstrim akibat deforestasi ugal-ugalan dan alih fungsi lahan atas dasar izin usaha mengindikasikan bahwa pemerintah saat itu telah melanggar kewajiban hukum yang dibuat sendiri.
Mang Komment pun menilai, dalam hal ini pemerintah telah penerbitan izin usaha yang mendorong praktik deforestasi dan alih fungsi lahan yang bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan dan asas-asas umum yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan banyak merugikan rakyat.
“Pemerintah telah gagal menjalankan kewajiban administrasi, serta tidak melindungi lingkungan hidup dan HAM,” ungkapnya.
“Pemerintah tidak melakukan mengawasi praktik deforestasi dan tidak melakukan mitigasi risiko bencana sebagaimana diwajibkan dalam UU Lingkungan Hidup, HAM, dan Penanggulangan Bencana,” tambahnya.
Mang Komment mengecam kepada perusahaan yang telah merusak hutan secara ugal-ugalan dan usaha tambang yang tidak memperhatikan keselamatan lingkungan.
“Pemerintah harus bertidak tegas kepada pengusaha yang melanggar ketentuan dengan sanksi berat dan berani untuk mencabut izin usahanya, dalam peristiwa ini siapa yang banyak diuntungkan… ? Namun, masyarakat banyak yang menderita,” tanya mang Komment.
“Alam menangis dan berontak, dengan mengirim kayu-kayu glondongan, agar ‘semua melek’ akibat kerusakan hutan dari ulah manusia,” pungkasnya.
(marry/jurn.bkn/b)


