Darjono – Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, Ta’ Sesuai Harapannya …
Nasdional – www.bakinonline.com
Pengamat lingkungan hidup pecinta alam PUMAPALA Indobesia Darjono, sebut proyek Food Estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah bukan suatu solusi efektif untuk ketahanan pangan. Program pemerintah yang telah berjalan sekitar tiga tahun itu sarat dengan masalah. Pasalnya mulai dari kerusakan ekosistem akibat pembukaan lahan, hilangnya hak atas tanah milik masyarakat, hingga hilangnya sumber penghidupan sekitar.
“Gagasan Proyek Food Estate itu muncul dan berkembang saat pandemic covid-19 yang dikaitkan dengan ketahanan pangan, sekarang narasi itu didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim. Padahal, program itu harus dikaji ulang karena menunjukkan kegagalan,” ungkap Darjono disela kegiatanya di Bandung.
Saat itu, program Food Estate kembali mencuat saat agenda Forum Keamanan Pangan Dunia G20 November lalu. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyebut singkong sebagai salah satu komoditas unggulan sebagai solusi kerawanan pangan dunia imbas dari perang Ukraina dan Rusia.
Menengok pengalaman masa lalu, saat Orde Baru pernah membuat program Food Estate serupa dengan maksud menjadi penyangga ketahanan pangan nasional, namun berakhir gagal.
Negara kepulauan seperti Negara Indonesia seharusnya menerapkan sistem desentralisasi untuk pangan dengan memperkuat penyediaan pangan di setiap daerah atau wilayah, tidak dengan strategi lumbung pangan yang sentral.
Dengan demikian, apabila terdapat satu daerah atau wilayah yang mengalami gagal panen, maka daerah lainnya bisa menyediakan dengan penerapan sitim suplai silang.
“Pemerintah harusnya belajar dari kesalahan dan kegagalan di masa Orde Baru dengan pengadaan program pencetakan sawah sejuta hektare. Jika Indonesia ingin berdaulat pangan, maka kenali setiap keunikan pangan rakyat dan keanekaragaman alamnya,” ucap Darjono.
“Program Food Estate justru akan mensentralisasi produksi pangan di satu tempat yang dapat membawa masalah baru terkait distribusinya ke wilayah lain. Dan jika akses penyediaan pangan terbatas, maka harga akan melambung tinggi akibat monopoli spikulan tertentu. Sehingga daya beli masyarakat menurun. Imbasnya masyarakat terjebak dalam kondisi kerawanan pangan,” ungkap Darjono.
Diketahui sebelumnya. Saat gagasan program Food Estate atau lumbung pangan itu mulai dikampanyekan, Jokowi langsung menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Prabowo) sebagai pimpinan proyek lumbung pangan untuk kawasan di Kalimantan Tengah.
Jokowi beralasan, bahwa sektor pertahanan tak serta-merta hanya mengurus perihal alat utama sistem persenjataan (alutsista) saja, tapi bisa juga mengurus ketahanan pangan.
“Namanya pertahanan itu bukan hanya urusan alutsista, tetapi juga ketahanan dibidang pangan menjadi salah satu bagian dari itu,” ujar Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Senin (13/7/2020), lalu, dikutip dari Kontan.
Adapun pengembangan lumbung pangan di Kalimantan Tengah telah dilaksanakan sejak pertengahan 2020 pada areal lahan sawah eksisting sekitar 30.000 hektar, yang tersebar di Kabupaten Pulang Pisau 10.000 hektar dan Kabupaten Kapuas 20.000 hektar. Dan pada 2021, pengembangan lumbung pangan di Kalimantan Tengah diperluas menjadi 44.135 hektar.
Sementara itu, Prabowo menegaskan bahwa kementeriannya hanya menjadi pendukung dalam pengerjaan Food Estate. Menurutnya, Kementerian Pertanian tetap akan menjadi leading sector-nya.
“Saya diberi tugas tanggal 9 Juli lalu, ditugaskan untuk mem-backup, mendukung menteri lain yang berkaitan dengan pertanian. Utamanya menteri pertanian. Ini tugas pokok beliau,” kata Prabowo dalam keterangan pers usai rapat terbatas dengan Jokowi, Rabu (23/9/2020).
Prabowo menyebut, pengerjaan kebun singkong terhenti sementara karena ketiadaan anggaran. Kenyataannya, program lumbung pangan mengalami tantangan serius. Dan hasilnya terbilang gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektar pun dinilai mangkrak dan 17.000 hektar sawah itu tak kunjung panen.
Sementara itu, Pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program Food Estate. Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.
Pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.
Namun, apabila sudah ada kepastian alokasi dana dari APBN Tahun 2023 maka pengelolaan kebun singkong akan dilanjutkan kembali.
Sementara itu, seorang warga bernama Rangkap meluapkan kekesalannya tentang hutan di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sebagian telah gundul.
Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi hutan, serta mencari ramuan tradisional.
Kini semua itu hilang. Termasuk lahan seluas empat hektar yang secara turun-temurun ditanami sayur terong, kacang panjang, kundur, dan pohon karet oleh keluarganya.
“Hutan itu bukan tidak pernah diinjak, itu tempat kami orang Dayak ke hutan. Sekarang lihat saja kayak lapangan… siapa yang tidak marah,? Sudah berpuluh tahun tanam pohon karet mau disadap kok digusur,” keluh kesahnya.
Darjono Juga menambahkan, ”Program Food Estate ‘lumbung pangan’ di Kalimantan Tengah dinilai telah mengancam keanekaragaman hayati dan adat sekitar, karena telah mengeksploitasi sekitar 600 hektare hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan singkong yang mengakibatkan memperburuk krisis iklim,”
“Banyak lulusan Agronomi, Insinyur Pertanian serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Kementerian Pertanian (Kementan) yang ada. Ketimbang menyerahkan kepada Menteri Pertahanan yang dinilai tidak tepat, proyek Food Estate ta’ sesuai harapannya alis gagal, “ pungkasnya.
(ari/red.bkn/b)